UstJabir mengutip uraian bijaksana dari kitab Maulana Rumi yang berjudul Matsnawi, tepatnya di bait 1319, dikatakan, " Oh fulan, berbagai kezaliman yang engkau saksikan kepada orang lain sesungguhnya adalah sifatmu di dalam diri mereka. Di dalam diri mereka terpancar keberadaanmu, termasuk sifat kemunafikan, kezaliman, dan kemabukan. Sebagian besar orang selalu terjebak dalam ego untuk menilai orang lain. Pekerjaan untuk menilai diri sendiri biasanya kurang begitu memotivasi, tetapi saat diberikan tantangan untuk menilai orang lain, maka gairah dan motivasi akan bersatu padu dalam antusiasme untuk menemukan jati diri orang lain tersebut. Memang kita bukan tidak boleh menilai orang lain. Akan tetapi kita juga harus instropeksi diri sendiri. Disaat menilai orang lain tentunya kita hanya bisa menilai dari lahiriyahnya saja. Sebab menilai hati seseorang itu tidak ada kemampuan manusia. Masalah penilaian hati seperti ikhlas atau riyanya seseorang, itu merupakan kekuasaan Allah Swt. yang perlu kita ingat disaat menilai orang lain, jauhkanlah sifat buruk sangka. Sebab belum tentu buruk lahiriyah, buruk pula hatinya. Dalam hal ini Imam al-Ghazali, memberikan 5 tips bagaimana sebaiknya kita menilai orang lain. Supaya tidak jatuh kepada penilaian yang salah. Dalam kitab Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali berkata 1. Jika engkau melihat orang yang masih muda, maka katakan dalam hatimu, 'Orang ini belum banyak durhaka kepad Allah sedangkan aku sudah banyak durhaka pada Allah. Tidak diragukan lagi orang ini lebih baik dariku'. 2. Jika engkau melihat orang yang lebih tua, katakan dalam hatimu, 'Orang ini sudah beribadah sebelum aku, dengan begitu tidak diragukan lagi bahwa dia lebih baik dariku'. 3. Jika engkau melihat orang alim berilmu, katakan dalam hatimu, 'Orang ini sudah diberi kelebihan yang tidak diberikan kepadaku. Dia menyampaikan suatu kebaikan kepada orang lain sedangkan aku tidak menyampaikan apa-apa. Dia tahu hukum-hukum yang tidak aku tahu. Maka bagaimana mungkin aku sama dengannya?' 4. Jika engkau bertemu dengan orang bodoh, kurang ilmu dan wawasan, katakan dalam hatimu, 'Orang ini sudah durhaka kepada Allah karena ketidaktahuannya sedangkan aku durhaka kepada Allah dengan pengetahuanku, maka vonis Allah kepadaku lebih berat dibanding orang ini. Dan aku tidak tau bagaimana akhir hidupku dan akhir hidup orang ini'. 5. Jika engkau melihat orang kafir, maka katakan dalam hatimu, 'Aku tidak tahu, bisa jadi dia akan masuk Islam dan mengisi akhir hidupnya dangan amal kebaikan, dan dengan keislamannya itu dosa dosanya keluar dari dirinya seperti keluarnya rambut darr timbunan tepung. Sedangkan aku, bisa jadi tersesat dari Allah karena tidak mau meningkatkan iman dan akhirnya menjadi kafir, dan hidupku berakhir dengan amal buruk. Orang seperti ini bisa jadi besok menjadi orang yang dekat dengan Allah dan aku menjadi orang yang jauh dari Allah'. Demikianlah sahabat bacaan madani 5 tips menilai orang lain menurut imam Al-Ghazali. Dari 5 tips tadi bisa kita simpulkan bahwa kita dilarang berburuk sangka. Kita di anjurkan untuk berbaik sangka kepada orang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam Al-Quran, “Maka janganlah engkau menilai dirimu lebih suci dibanding orang lain. Dia Allah lebih tahu siapa orang-orang yang bertakwa.” QS. an-Najm 32 Menurutpenelitian dari Nature Human Behaviour, perilaku menilai orang lain lewat pakaian mereka sudah menjadi naluri alamiah hampir sebagian orang. Di dalam jurnal tersebut disebutkan terdapat sembilan studi yang melibatkan masyarakat awam dan mahasiswa. Post Views 2,741 Ajaran Islam memberikan dampak yang sangat signifikan kepada setiap pemeluknya. Dampak tersebut mencakup hati akidah dan juga perbuatan amaliyah. Hati adalah tempat tertanamnya keimanan, keyakinan dan ketakwaan, sedangkan perbuatan adalah wujud dari ketaatan dan berserah dirinya hamba kepada Allah. Semua orang pasti dapat melihat dan menilai orang lain dari perbuatan lahiriahnya yang tampak, seperti perbuatan dan ucapan. Namun tidak ada satu pun manusia yang mampu melihat isi hati orang lain. Mengenai hal ini, Islam mengajarkan supaya kita cukup menilai seseorang dari amalan zahirnya saja. Kita bisa melihat seseorang itu baik atau buruk cukup dari perbuatan dan ucapannya. Namun untuk urusan hatinya, kita tidak akan pernah tahu. Hal yang paling fundamental dalam pembahasan kita kali ini adalah tentang keimanan dan keislaman. Iman dan Islam adalah dua hal yang berbeda jika disebutkan secara beriringan. Iman adalah amalan hati sedangkan Islam adalah ditunjukkan dengan perbuatan dan ucapan yang mencerminkan kepatuhan dan ketaatan kepada Allah. Maka, jika ada seseorang yang melakukan amalan-amalan syariat Islam shalat, puasa, dll, maka cukuplah bagi kita untuk menerimanya sebagai seorang muslim. Tidak perlu mempertanyakan apakah amalnya ikhlas atau tidak, sungguh-sungguh atau tidak, apakah imannya benar atau tidak, dan semisalnya. Itu semua di luar jangkauan pengetahuan kita, sehingga tidak perlu menyibukkan diri dengan urusan yang bukan hak kita. Kalau kita sudah melihatnya sebagai seorang muslim, maka kita diharamkan untuk membunuhnya, merampas hartanya maupun menzaliminya dalam bentuk apa pun. Dalam kitab Riyadhus Shalihin yang disusun oleh Imam An-Nawawi rahimahullah, beliau menulis judul bab ke 49 yaitu باب إجراء أحكام الناس على الظاهر وسرائرهم إلى الله تعالى “Bab Menjalankan Hukum-hukum Terhadap Manusia Menurut Zahirnya, Sedangkan Hati Mereka Terserah Allah Ta’ala” Imam An-Nawawi rahimahullah mengawali bab tersebut dengan firman Allah berikut … فَإِن تَابُوۡا وَأَقَامُوۡا الصَّلٰوةَ وَءَاتَوُا الزَّكٰوةَ فَخَلُّوۡا سَبِيۡلَهُمۡۚ إِنَّ اللّٰهَ غَفُوۡرٞ رَّحِيۡمٞ ٥ “… Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.” QS. At-Taubah [9] 5. Dalam bab ini terdapat 6 hadits, namun kita akan mengambil 4 hadits saja sebagai pokok pembahasan kita. Hadits No. 390 Dari Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma, sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda أُمِرۡتُ أَنۡ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشۡهَدُوۡا أَنۡ لَا إِلٰهَ إِلَّا الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رسولُ اللهِ ويُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤتُوا الزَّكاةَ، فَإِذَا فَعَلُوۡا ذَلِكَ عَصَمُوۡا مِنِّي دِمَاءَهُمۡ وَأَمۡوَالَـهُمۡ إِلَّا بِحَقِّ الۡإِسۡلَامِ، وَحِسَابُـهُمۡ عَلَى اللهِ تَعَالَى . “Aku diperintahkan untuk memerangi semua manusia, hingga mereka bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat serta menunaikah zakat. Maka jika mereka telah melakukan yang demikian itu, terpeliharalah dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan haknya Islam, sedang hisab—perhitungan amal—mereka adalah terserah kepada Allah Ta’ala.” Shahih Al-Bukhari dan Muslim. Hadits No. 391 Dari Abu Abdillah Thariq bin Usyaim radhiallahu anhu, ia berkata “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda مَنۡ قَالَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدًا رَسُوۡلُ اللهِ وَكَفَرَ بِـمَا يُعۡبَدُ مِنۡ دُونِ اللهِ حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ وَحِسابُهُ عَلَى اللهِ تَعَالَى . “Barangsiapa yang mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah, dan ia mengingkari segala yang disembah diibadahi selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedangkan hisab—perhitungan amalnya—terserah kepada Allah.” Shahih Muslim. Hadits No. 393 وعن أُسامةَ بنِ زَيۡدٍ ، رضي اللَّه عنهما قال بَعَثَنَا رسولُ الله ﷺ إِلَى الحُرَقَةِ مِنۡ جُهَيۡنَةَ ، فَصَبَّحۡنا الۡقَوۡمَ عَلى مِيَاهِهِمۡ، وَلحِقۡتُ أَنَا وَرَجُلٌ مِنَ الۡأَنۡصَارِ رَجُلًا مِنهُمۡ فَلَمَّا غَشِيناهُ قال لَا إِلٰهِ إلَّا الله، فَكَفَّ عَنۡهُ الأَنۡصارِيُّ، وَطَعَنۡتُهُ بِرۡمِحِي حَتَّى قَتَلۡتُهُ ، فَلَمَّا قَدِمۡنَا الۡمَدينَةَ ، بلَغَ ذلِكَ النَّبِيَّ ﷺ ، فقال لِي يَا أُسَامَةُ أَقَتَلۡتَهُ بَعۡدَ مَا قَالَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ ؟ قُلۡتُ يا رسولَ الله إِنَّمَا كَانَ مُتَعَوِّذًا ، فَقَالَ ” أَقَتَلۡتَهُ بَعۡدَ مَا قَالَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ؟ فَما زَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ حَتَّى تَمنَّيۡتُ أَنِّي لَمۡ أَكُنۡ أَسۡلَمۡتُ قَبۡلَ ذلِكَ الۡيَوۡمِ. متفقٌ عليه. وفي روايةٍ فَقالَ رسولُ الله ﷺ أَقَالَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَقَتَلۡتَهُ ؟ قُلۡتُ يا رسولَ اللهِ ، إِنَّمَا قَالَـهَا خَوۡفًا مِنَ السِّلاحِ ، قال أَفَلَا شَقَقۡتَ عَنۡ قَلۡبِهِ حَتَّى تَعۡلَمَ أَقَالَهَا أَمۡ لَا؟ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى تَمَنَّيۡتُ أَنِّي أَسۡلَمۡتُ يَؤۡمئذٍ . Dari Usamah bin Zaid radhiallahu anhuma, ia berkata Rasulullah ﷺ mengirim kami ke daerah Huraqah dari suku Juhainah. Kami berpagi-pagi menduduki tempat air mereka. Saya dan teman saya yang dari kaum anshar bertemu dengan seorang laki-laki musuh dari kalangan mereka. Setelah kami mendekatinya, ia mengucapkan “Laa Ilaaha Illallah”. Orang dari kaum anshar menahan diri dan tidak membunuhnya, sedangkan aku langsung membunuhnya dengan tombakku. Setelah kami tiba di Madinah, peristiwa itu sampai ke Rasulullah ﷺ, lalu beliau bertanya kepadaku, “Wahai Usamah, apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa Ilaaha Illallah?” Aku berkata, “Ya Rasulullah, sebenarnya orang itu hanya mencari perlindungan diri karena takut mati”. Rasulullah ﷺ bertanya lagi, “Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa Ilaaha Illallah?” Pertanyaan itu terus diulang-ulang oleh Rasulullah sehingga aku membayangkan seandainya aku belum masuk Islam sebelum hari itu.” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Bukankah ia telah mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, mengapa engkau membunuhnya?” Usamah menjawab, “Ya Rasulullah, ia mengucapkan itu hanya karena takut dengan senjataku.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Mengapa engkau tidak belah dadanya untuk melihat hatinya sehingga engkau bisa tahu apakah ia mengucapkannya karena takut mati atau tidak yakni karena ikhlas?” Beliau terus mengulang-ulang pertanyaan itu hingga aku mengharapkan bahwa aku masuk Islam mulai hari itu saja.” Muttafaqun alaih. Shahih Al-Bukhari 4269 dan Shahih Muslim 96. Hadits tersebut menceritakan tentang menyesalnya Usamah bin Zaid radhiallahu anhu yang telah membunuh seseorang yang telah mengucapkan “Laa Ilaaha Illallah”. Ia sampai dihujani pertanyaan oleh Rasulullah ﷺ yang berulang-ulang. Begitu menyesalnya Usamah sampai-sampai ia berharap dirinya belum masuk Islam ketika itu. Karena kalau seandainya ia baru masuk Islam di hari itu, maka ada jaminan dosanya akan diampuni oleh Allah Azza wa Jalla. Allahu A’lam. Hadits No. 395 وعن عبدِ الله بنِ عتبة بن مسعودٍ قال سمِعۡتُ عُمَر بۡنَ الخَطَّابِ رضي اللَّه عنه يقولُ إِنَّ نَاسًا كَانُوا يُؤۡخَذُونَ باِلۡوَحۡيِ في عَهۡدِ رسولِ اللهِ ﷺ ، وإِنَّ الوَحۡيَ قَدِ انۡقَطَعَ، وإِنَّمَا نَأۡخُذُكُمُ الآنَ بِما ظَهَرَ لَنَا مِنۡ أَعۡمَالِكُمۡ ، فَمَنۡ أَظۡهَرَ لَنا خَيۡرًا أَمَّنَّاهُ وقَرَّبۡنَاهُ وَلَيۡسَ لَنَا مِنۡ سَرِيرَتِهِ شَيۡءٌ ، اَللهُ يُحاسِبُهُ في سَرِيرَتِهِ ، وَمَنۡ أَظۡهَرَ لَنَا سُوۡءًا لَمۡ نأۡمَنۡهُ وَلَمۡ نُصَدِّقۡهُ وَإِنۡ قَالَ إِنَّ سَرِيرَتَهُ حَسَنَةٌ . Dari Abdullah bin Utbah bin Mas’ud ia berkata “Aku mendengar Umar bin Khatthab radhiallahu anhu berkata “Sesungguhnya seluruh manusia dahulu ditetapkan dengan hukum sesuai dengan adanya wahyu, yakni di masa Rasulullah ﷺ. Dan sesungguhnya sekarang wahyu itu telah terputus. Dan sesungguhnya sekarang kami menuntut kalian semua atas dasar apa pun yang zahir terlihat dari segala amalan yang kalian lakukan. Barangsiapa yang menampakkan perbuatan baik kepada kami, maka kami berikan keamanan dan kami dekatkan kedudukannya kepada kami, sedangkan kami tidak mempersoalkan sedikit pun tentang hatinya. Allah-lah yang akan menghisab isi hatinya itu. Dan barangsiapa yang menampakkan perbuatan buruk kepada kami, maka kami tidak akan memberikan keamanan kepadanya dan tidak akan mempercayai ucapannya, sekalipun ia mengatakan bahwa niat hatinya adalah baik.” Shahih Al-Bukhari Itulah 4 hadits yang terdapat dalam kitab Riyadhus Shalihin Bab 49, yang menunjukkan bahwa kaum muslimin hanya cukup menilai seseorang dari segala yang terlihat, baik perbuatan maupun ucapan. Sedangkan urusan hatinya, biarlah Allah yang menghisabnya, karena memang hanya Allah yang mampu. Sebagai pelengkap, ada suatu riwayat ketika Rasulullah ﷺ menerima kiriman emas dari Ali bin Abi Thalib. Rasulullah ﷺ membagi emas tersebut kepada 4 orang Uyainah bin Hishn, Al-Aqra’ bin Habis, Zaid Al-Khail, sedangkan orang keempat yaitu antara Alqamah bin Ulatsah atau Amir bin Thufail. Kemudian ada salah seorang yang berkata كُنَّا نَحۡنُ أَحَقَّ بِـهَذَا مِنۡ هَؤُلَاءِ . “Sesungguhnya kami lebih berhak menerimanya daripada mereka!” Komentar itu pun didengar oleh Rasulullah, lalu beliau ﷺ pun bersabda أَلَا تَأۡمَنُونِي وَأَنَا أَمِينُ مَنۡ فِي السَّمَاءِ، يَأۡتِينِي خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً . “Apakah kalian tidak mempercayaiku sedangkan aku adalah manusia kepercayaan Dzat yang berada di langit? Dan aku juga menerima wahyu dari langit di waktu pagi dan petang.” Kemudian berdirilah seseorang yang matanya cekung, tulang pipinya cembung, dahinya menonjol, jenggotnya lebat, kepalanya gundul dan kain sarungnya disingsingkan, lalu ia berkata يَا رَسُولَ اللهِ، اِتَّقِ اللهَ ! “Ya Rasulullah, bertakwalah kepada Allah!” Rasulullah pun berkata وَيۡلَكَ! أَوَلَسۡتُ أَحَقَّ أَهۡلِ الۡأَرۡضِ أَنۡ يَتَّقِيَ اللهَ . “Celakalah kamu! Bukankah aku adalah penduduk bumi yang paling bertakwa kepada Allah?!” Orang itu pun pergi, dan Khalid bin Walid yang melihat kejadian itu berkata يَا رَسُولَ اللهِ، أَلَا أَضۡرِبُ عُنُقَهُ ؟ “Ya Rasulullah, bolehkah kupenggal lehernya?” Rasulullah ﷺ bersabda لَا، لَعَلَّهُ أَنۡ يَكُونَ يُصَلِّي . “Jangan. Barangkali ia masih mengerjakan shalat.” Khalid bin Walid berkata وَكَمۡ مِنۡ مُصَلٍّ يَقُولُ بِلِسَانِهِ مَا لَيۡسَ فِي قَلۡبِهِ . “Berapa banyak orang yang shalat namun ia mengucapkan dengan lisannya sesuatu yang tidak ada dalam hatinya.” Rasulullah ﷺ bersabda إِنِّي لَـمۡ أُومَرۡ أَنۡ أَنۡقُبَ عَنۡ قُلُوبِ النَّاسِ وَلَا أَشُقَّ بُطُونَـهُمۡ . “Sesungguhnya aku tidak diperintahkan untuk melihat isi hati manusia dan tidak pula isi perutnya.” Shahih Al-Bukhari 4351 dan Muslim 1064. _________________________ Saudaraku sekalian, manusia tidak akan pernah bisa melihat dan menilai isi hati orang lain. Maka, tidak sepantasnya kita menduga-duga isi hati orang lain. Tidak sepantasnya pula kita menganggap orang lain tidak beriman sementara mereka masih menerima kalimat tauhid Laa Ilaaha Illallah dan mereka masih shalat. Nabi Muhammad ﷺ sendiri menjadikan alasan tersebut sebagai dasar untuk menilai manusia berdasarkan perbuatan lahiriahnya, yaitu shalat. Rasulullah ﷺ tidak diperintahkan untuk mempersoalkan isi hati umatnya, dan sikap ini juga yang diikuti oleh sahabat yang mulia, Amirul Mukminin Umar bin Khatthab radhiallahu anhu. Oleh sebab itu, sudah seharusnya kita mengambil sikap yang sama dengan panutan kita, sosok figur yang sangat mulia ini, Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Allahu A’lam… * * * Danmenampakkan kelebihan ilmunya dari yang lain serta menilai orang lain bodoh. Serta merendahkan orang lain untuk meninggikan dirinya sendiri. (Fadhl Ilmi As Salaf 'ala Ilmi Al Khalaf, hal. 28). Maluku Utara Wilayah Kesultanan Islam Berperadaban Tinggi. Mobil Inisiator #2019Ganti Presiden Neno Warisman dikabarkan Diledakkan. Sikap membanding-bandingkan merupakan kebiasaan yang kerap kali dilakukan seseorang, entah membandingkan diri dengan orang lain dalam hal jabatan, karier, kekayaan, dan sebagainya. Bisa juga membandingkan orang lain dengan pihak lain seperti membanding-bandingkan prestasi anak sendiri dengan teman sekelasnya. Lantas bagaimana pandangan Islam dengan sikap demikian? Membandingkan diri dengan orang lain atau orang lain dengan pihak lain, bisa tidak boleh dan bisa juga boleh, bahkan dianjurkan. Yang tidak diperbolehkan adalah ketika sikap membandingkan ini membuat kita kurang bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan. Dalam Al-Qur’an disebutkan, وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا Artinya, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Karena bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” QS An-Nisa [3] 32 Ayat di atas berpesan kepada kita agar jangan membanding-bandingkan diri dengan orang lain sehingga muncul sifat iri atau hasud. Misalnya, membandingkan jatah rezeki yang telah Allah bagikan kepada hamba-Nya. Sebab, jika sudah muncul sifat iri akan membuat seseorang lupa diri sehingga dikhawatirkan akan menghalalkan segala cara agar bisa mengungguli orang lain. Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [1981], juz X, halaman 82. Terkait bahaya sifat hasud, ada sejumlah ayat Al-Qur’an, hadits, dan pesan para sahabat Nabi atsar yang sudah menyinggungnya. Dalam satu hadits diriwayatkan وعنْ أنَسٍ رضي اللَّه عنهُ قال قال رسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم لا تَقَاطَعُوا، ولا تَدابروا، ولا تباغضُوا، ولا تحاسدُوا، وكُونُوا عِبادَ اللَّهِ إخْواناً. ولا يحِلُّ لمُسْلِمٍ أنْ يهْجُرَ أخَاهُ فَوقَ ثَلاثٍ. متفقٌ عليه Artinya, “Dari Anas ra, berkata, Rasulullah saw bersabda, Janganlah engkau semua saling memutuskan hubungan persahabatan atau kekeluargaan, jangan saling membelakangi, jangan saling membenci serta jangan pula saling mendengki. Jadilah engkau semua, hai hamba-hamba Allah, sebagai saudara-saudara. Tidak boleh seorang Muslim meninggalkan tidak menyapa saudaranya lebih dari tiga hari.’” Muttafaq alaih Ibnu Mas’ud pernah menyampaikan bahwa orang yang memiliki sifat hasud bagaikan orang yang memusuhi nikmat Allah. Sebab, ia tidak senang ketika ada orang lain mendapat nikmat yang telah Allah anugerahkan. Sebaliknya, ia akan bertepuk tangan jika mihat orang yang dihasudinya hancur. Kendati sikap membanding-bandingkan tidak diperbolehkan, ada juga yang diperbolehkan, yaitu ketika dilakukan dengan tujuan supaya mendapat motivasi dari orang lain. Misalnya, membandingkan diri dengan orang lain yang memiliki semangat belajar lebih giat atau kualitas ibadah tinggi sehingga kita juga ikut terpacu untuk meningkatkan kualitas diri. Sebab itu Rasulullah saw menganjurkan kita agar sering bergaul dengan orang saleh agar kita banyak berintrospeksi diri dan terus mendapat suntikan semangat beramal baik. Nabi saw bersabda إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ؛ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً. متفق عليه Artinya, “Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk bagaikan penjual minyak wangi dan tukang besi. Penjual minyak wangi, jika ia tidak menghadiahkan padamu minyak wangi, maka engkau akan beli darinya, atau paling tidak engkau akan ketularan harumnya. Sedangkan tukang besi, jika bajumu tidak terbakar akibat terkena percikan api yang ada di tungku besinya, setidak-tidaknya engkau akan keluar dari tempat kerjanya dalam keadaan bau asap.” Muttafaq Alaih Berbeda dalam urusan akhirat, jika membandingkan diri dengan orang lain dalam urusan duniawi seperti karier, kekayaan, prestasi, dan sebagainya, kita dianjurkan untuk melihat orang yang levelnya berada di bawah nasib kita. Dengan begitu harapannya akan membuat kita tetap bisa bersyukur karena Allah swt masih memberi yang lebih baik kepada diri kita dibanding orang lain. Dalam satu hadits diriwayatkan عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ قَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ؛ فَهُوَ أجْدَرُ أنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ الله عَلَيْكُمْ Artinya, “Dari Abu Hurairah radiyallahu anhu, beliau berkata, Rasulullah saw bersabda, Lihatlah siapa yang berada di bawah kalian, dan jangan melihat orang yang berada di atas kalian, sebab yang demikian lebih patut agar kalian tidak memandang remeh nikmat Allah atas kalian.’” HR al-Bukhari. Melaui hadits ini, Imam Ibnu Hajar menyampaikan, jika dalam urusan ibadah hendaknya seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki kualitas lebih baik darinya sehingga menjadi motivasi untuk meningkatkan kualitas ibadah dirinya. Berbeda dalam urusan duniawi, hendaknya ia membandingkan dirinya dengan orang lain yang nasibnya berada di bawahnya sehingga ia bisa tetap bersyukur telah diberi kelebihan. Ibnu Hajar, Fathul Bari, juz XI, halaman 276. Simpulannya, jika membandingkan diri dalam urusan duniawi harus dicermati terlebih dulu. Jika sikap tersebut membuat kita semangat untuk meningkatkan kualitas diri maka boleh, bahkan dianjurkan. Seperti membandingkan diri dengan semangat belajar orang lain. Sebaliknya, jika hal demikian justru membuat kita kurang bersyukur atau timbul hasud, maka tidak boleh. Seperti membandingkan diri dengan orang lain terkait besaran gaji. Sementara dalam hal membandingkan diri dalam urusan akhirat maka mutlak diperbolehkan karena bisa membuat semangat ibadah kita terpacu. Seperti membandingkan diri dengan orang lain yang lebih rajin menjalankan shalat berjamaah. Wallahu a’lam. Ustadz Muhamad Abror, Penulis Keislaman NU Online, Alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta SindiranUntuk Orang Munafik - Kumpulan kata-kata sindiran halus untuk orang yang munafik bisa untuk menggelitik orang yang bermuka dua. Munafik berarti pura-pura suka, pura-pura setia, dan pura-pura setuju tapi dalam hatinya berkata lain. Berhati-hatilah dengan orang munafik, karena orang yang memiliki sifat seperti ini dapat merugikanmu. Ilustrasi via ragu dengan tampilan orang lain yang buruk, takut dijahati, atau jangan jangan dia rampok atau pencuri...Begini jika Anda takut salah menilai orang agar tak ragu, jahat atau baik anda akan tahu...Sebagian besar orang selalu terjebak dalam ego untuk menilai orang lain. Pekerjaan untuk menilai diri sendiri biasanya kurang begitu memotivasi, tetapi saat diberikan tantangan untuk menilai orang lain, maka gairah dan motivasi akan bersatu padu dalam antusiasme untuk menemukan jati diri orang lain kita bukan tidak boleh menilai orang lain. Akan tetapi kita juga harus instropeksi diri sendiri. Disaat menilai orang lain tentunya kita hanya bisa menilai dari lahiriyahnya saja. Sebab menilai hati seseorang itu tidak ada kemampuan penilaian hati seperti ikhlas atau riyanya seseorang, itu merupakan kekuasaan Allah Swt. yang perlu kita ingat disaat menilai orang lain, jauhkanlah sifat buruk sangka. Sebab belum tentu buruk lahiriyah, buruk pula hal ini Imam al-Ghazali, memberikan 5 tips bagaimana sebaiknya kita menilai orang lain. Supaya tidak jatuh kepada penilaian yang salah. Dalam kitab Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali berkata1. Jika engkau melihat orang yang masih muda, maka katakan dalam hatimuOrang ini belum banyak durhaka kepad Allah sedangkan aku sudah banyak durhaka pada Allah. Tidak diragukan lagi orang ini lebih baik dariku’.2. Jika engkau melihat orang yang lebih tua, katakan dalam hatimu,Orang ini sudah beribadah sebelum aku, dengan begitu tidak diragukan lagi bahwa dia lebih baik dariku’.Baca Juga Rasulullah Marah Bila Kita Membakar Semut, Begini Cara Mengusirnya Agar Diridhoi Allah3. Jika engkau melihat orang alim berilmu, katakan dalam hatimu,Orang ini sudah diberi kelebihan yang tidak diberikan kepadaku. Dia menyampaikan suatu kebaikan kepada orang lain sedangkan aku tidak menyampaikan apa-apa. Dia tahu hukum-hukum yang tidak aku tahu. Maka bagaimana mungkin aku sama dengannya?’4. Jika engkau bertemu dengan orang bodoh, kurang ilmu dan wawasan, katakan dalam hatimu,Orang ini sudah durhaka kepada Allah karena ketidaktahuannya sedangkan aku durhaka kepada Allah dengan pengetahuanku, maka vonis Allah kepadaku lebih berat dibanding orang ini. Dan aku tidak tau bagaimana akhir hidupku dan akhir hidup orang ini’.5. Jika engkau melihat orang kafir, maka katakan dalam hatimu,Aku tidak tahu, bisa jadi dia akan masuk Islam dan mengisi akhir hidupnya dangan amal kebaikan, dan dengan keislamannya itu dosa dosanya keluar dari dirinya seperti keluarnya rambut darr timbunan tepung. Sedangkan aku, bisa jadi tersesat dari Allah karena tidak mau meningkatkan iman dan akhirnya menjadi kafir, dan hidupku berakhir dengan amal buruk. Orang seperti ini bisa jadi besok menjadi orang yang dekat dengan Allah dan aku menjadi orang yang jauh dari Allah’.Demikianlah sahabat bacaan madani 5 tips menilai orang lain menurut imam Al-Ghazali. Dari 5 tips tadi bisa kita simpulkan bahwa kita dilarang berburuk di anjurkan untuk berbaik sangka kepada orang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam Al-Quran,“Maka janganlah engkau menilai dirimu lebih suci dibanding orang lain. Dia Allah lebih tahu siapa orang-orang yang bertakwa.” QS. an-Najm 32 Sedangkandi dalam Islam kita selalu diajari untuk menilai diri sendiri dibanding menilai orang lain. Secara makna hal seperti itu sudah tersirat dalam ungkapan khalifah Umar bin Khattab "Hasibu anfusakum qobala antuhasabu", introspeksi diri kalian, nilai diri kalian sebelum kalian dinilai di sisi yang maha menilai yaitu Allah. Ungkapan Dalam Alqur'an Al-Karim, mencari-cari kesalahan orang lain disebut dengan istilah "tajassasu" tajassus. Perbuatan ini hampir sama dengan berburuk sangka. Keduanya tergolong sifat tercela yang amat dibenci Allah dan firman Allah dalam Alqur’an "Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang." QS. Al-Hujurat 12. Ulama besar Yaman, Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad 1634-1720, dalam kitabnya An-Nashoihud Diniyah menjelaskan bahaya dari sifat "tajassasu" tersebut. "Kita dilarang menyelidiki kesalahan orang lain yang tidak jelas. Bahkan hal itu diharamkan. Allah ta’ala berfirman wa laa tajassasuu Dan jangan kamu mencari-cari kesalahan orang lain," kata Habib Abdullah Al-Haddad dalam kitab yang SAW bersabda, "Barangsiapa mencari-cari kesalahan saudaranya, maka Allah akan menampakan kejelekannya." Baca Juga Adab Berpuasa Jaga Lidah dari Dusta dan GhibahUmat Islam diwajibkan menyuruh berbuat yang ma'ruf ketika melihat orang-orang meninggalkannya dan menyalahkan orang yang melakukan kemungkaran. Habib Abdullah Al-Haddad menegaskan bahwa seorang mukmin yang bertaqwa tidak akan berkata sembarangan dan tidak mengatakan selain kebenaran. Setiap muslim wajib berbaik sangka kepada kaum muslimin."Banyak orang saling menyampaikan kabar dan mereka menggampangkan hal itu. Yang disukai oleh orang-orang adalah siapa yang cocok dengan keinginan mereka, meskipun tidak lurus kepada Allah. Sedangkan yang tercela menurut mereka adalah yang berbeda dengan mereka, meskipun seorang hamba itu saleh," jelasnya. Karena itu, setiap mukmin wajib berhati-hati dalam semua urusan. Sebab, zaman ini penuh dengan fitnah dan banyak manusia yang menyimpang dari kebenaran, kecuali yang dikehendaki Allah. Baca Juga Inilah 'Penyakit' yang Menimpa Umat Nabi Muhammad dan ObatnyaBersikap Lemah LembutKetahuilah bahwa sikap lemah lembut dan menjauhi kekerasan adalah modal besar dalam menerima kebenaran. Hendaklah seorang mukmin bersikap demikian terhadap orang yang disuruh maupun dilarang atau dinasihati kepadanya dengan lunak dan rendah hati, karena sifat lemah lembut itu merupakan kebaikan pada sesuatu. Allah. Sedangkan kekasaran itu adalah kejelekan sebagaimana dikatakan oleh Nabi ta’ala berfirman "Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu." QS Ali-Imran 159Di ayat lain, Allah ta'ala juga berfirman, "Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka." QS Ali-Imran 105Ini adalah larangan dari Allah kepada hamba-hambaNya yang beriman. Umat Islam diminta agar tidak menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih dalam agama. Sebab para ahlu kitab yang berselisih mengenai agama mereka itu mendapat siksa yang besar. Karena itu setiap mukmin harus berusaha melindungi dirinya dan keluarganya dari siksa api neraka. Selain mengamalkan Alqur’an dan As-Sunnah, berusahalah menjauhi permusuhan dan bersikap lemah lembutlah kepada semua orang.rhs Memang dalam adat Minangkabau, suku dan marga itu diturunkan oleh ibu. Jika ibu bersuku Pisang, maka anaknya juga pisang. Jika ibunya bersuku guci, maka anaknya bersuku guci pula. Di sini kita harus bedakan, mana yang suku, mana yang nasab. Tidak ada istilah, bahwa di Minang nasab anak turun dari ibu. Sebagian besar orang selalu terjebak dalam ego untuk menilai orang lain. Pekerjaan untuk menilai diri sendiri biasanya kurang begitu memotivasi, tetapi saat diberikan tantangan untuk menilai orang lain, maka gairah dan motivasi akan bersatu padu dalam antusiasme untuk menemukan jati diri orang lain tersebut. Memang kita bukan tidak boleh menilai orang lain. Akan tetapi kita juga harus instropeksi diri sendiri. Disaat menilai orang lain tentunya kita hanya bisa menilai dari lahiriyahnya saja. Sebab menilai hati seseorang itu tidak ada kemampuan manusia. Masalah penilaian hati seperti ikhlas atau riyanya seseorang, itu merupakan kekuasaan Allah Swt. yang perlu kita ingat disaat menilai orang lain, jauhkanlah sifat buruk sangka. Sebab belum tentu buruk lahiriyah, buruk pula hatinya. Dalam hal ini Imam al-Ghazali, memberikan 5 tips bagaimana sebaiknya kita menilai orang lain. Supaya tidak jatuh kepada penilaian yang salah. Dalam kitab Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali berkata 1. Jika engkau melihat orang yang masih muda, maka katakan dalam hatimu, Orang ini belum banyak durhaka kepada Allah sedangkan aku sudah banyak durhaka pada Allah. Tidak diragukan lagi orang ini lebih baik dariku’. 2. Jika engkau melihat orang yang lebih tua, katakan dalam hatimu, Orang ini sudah beribadah sebelum aku, dengan begitu tidak diragukan lagi bahwa dia lebih baik dariku’. 3. Jika engkau melihat orang alim berilmu, katakan dalam hatimu, Orang ini sudah diberi kelebihan yang tidak diberikan kepadaku. Dia menyampaikan suatu kebaikan kepada orang lain sedangkan aku tidak menyampaikan apa-apa. Dia tahu hukum-hukum yang tidak aku tahu. Maka bagaimana mungkin aku sama dengannya?’ 4. Jika engkau bertemu dengan orang bodoh, kurang ilmu dan wawasan, katakan dalam hatimu, Orang ini sudah durhaka kepada Allah karena ketidaktahuannya sedangkan aku durhaka kepada Allah dengan pengetahuanku, maka vonis Allah kepadaku lebih berat dibanding orang ini. Dan aku tidak tau bagaimana akhir hidupku dan akhir hidup orang ini’. 5. Jika engkau melihat orang kafir, maka katakan dalam hatimu, Aku tidak tahu, bisa jadi dia akan masuk Islam dan mengisi akhir hidupnya dangan amal kebaikan, dan dengan keislamannya itu dosa dosanya keluar dari dirinya seperti keluarnya rambut darr timbunan tepung. Sedangkan aku, bisa jadi tersesat dari Allah karena tidak mau meningkatkan iman dan akhirnya menjadi kafir, dan hidupku berakhir dengan amal buruk. Orang seperti ini bisa jadi besok menjadi orang yang dekat dengan Allah dan aku menjadi orang yang jauh dari Allah’. Demikianlah sahabat bacaan madani 5 tips menilai orang lain menurut imam Al-Ghazali. Dari 5 tips tadi bisa kita simpulkan bahwa kita dilarang berburuk sangka. Kita di anjurkan untuk berbaik sangka kepada orang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam Al-Quran, “Maka janganlah engkau menilai dirimu lebih suci dibanding orang lain. Dia Allah lebih tahu siapa orang-orang yang bertakwa.” QS. an-Najm 32. JML

QS 53: 39-40). Dalam surah Al-An`am ayat 164, Allah berfirman: Katakanlah: "Apakah aku akan mencari tuhan selain Allah, padahal Dialah Tuhan segala sesuatu. Dan setiap orang akan (merasakan) kejelekan dari apa yang diupayakannya (kasaba); dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.

403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID BXWJvB7zYMGjQ2gUVMsQXpyBM_cPuooUe4Vlk93vGMRdftJIxKAgoA== Kitamenilai cara berpakaian orang lain, menilai sikapnya, mengkritisi pilihan-pilihan hidupnya, dan yang paling parah menghakimi hidup orang lain. Duh, celaka! (Baca juga: Perang, Saat Manusia Mengambil Alih Peran Tuhan untuk Saling Menghakimi Sesamanya) Kadang-kadang kita menghakimi orang lain tanpa berpikir dengan jernih.
Dalam kitab Shifat al-Shafwah, Imam Ibnu Jauzi mencatat sebuah riwayat tentang Imam Bakr bin Abdullah al-Muzani. Berikut riwayatnyaعن كنانة بن جبلة السلمي قال قال بكر بن عبد الله إذا رأيت من هو أكبر منك فقل هذا سبقني بالإيمان والعملي الصالح فهو خير منّي, وإذا رأيت من هو أصغر منك فقل سبقتُه إلي الذنوب والمعاصي فهو خير منّي, وإذا رأيت إخوانك يكرمونك ويعظّمونك فقل هذا فضل أخذوا به, وإذا رأيت منهم تقصيرا فقل هذا ذنب أحدثتُهDari Kinanah bin Jablah al-Sulami, ia berkata Imam Bakr bin Abdullah berkata “Ketika kau melihat orang yang lebih tua darimu, katakanlah pada dirimu sendiri Orang ini telah mendahuluiku dengan iman dan amal shalih, maka dia lebih baik dariku.’ Ketika kau melihat orang yang lebih muda darimu, katakanlah Aku telah mendahuluinya melakukan dosa dan maksiat, maka dia lebih baik dariku.’ Ketika kau melihat teman-temanmu memuliakan dan menghormatimu, katakanlah Ini karena kualitas kebajikan yang mereka miliki.’ Ketika kau melihat mereka kurang memuliakanmu, katakan Ini karena dosa yang telah kulakukan.” Imam Ibnu Jauzi, Shifat al-Shafwah, Beirut Dar al-Ma’rifah, 1985, juz 3, h. 248****Sebagai pintu masuk memahami ungkapan di atas, kita harus membaca terlebih dahulu hadits nabi yang menjelaskan tentang dosa. Beliau Saw bersabda HR Imam Muslimوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللَّهُ بِكُمْ وَلَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ فَيَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ“Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya. Andai kalian tidak berbuat dosa, sungguh Allah akan melenyapkan kalian dan mendatangkan suatu kaum yang mereka akan berbuat dosa, kemudian mereka memohon ampun kepada Allah, maka Allah mengampuni mereka.”Hadits di atas perlu dipahami dengan cermat, karena bisa dianggap seolah-olah berdosa itu tidak masalah. Padahal titik beratnya bukan di situ. Dari kandungan maknanya, kita bisa temukan dua titik penting; pertama, pentingnya memohon ampunan kepada Allah, dan kedua, pengingat bahwa tidak ada manusia yang suci dari dosa, siapa pun orangnya kecuali para hadits tersebut adalah pengingat bagi manusia untuk tidak merasa “sok suci” dan “sok tidak memiliki dosa.” Di sinilah hikmah adanya dosa, sebagai penyeimbang dari pahala. Menurut para ulama, merasa berdosa lebih utama daripada merasa berpahala. Imam Ibnu Rajab al-Hanbali w. 795 H mengomentari hadits di atas dengan mengatakanوهذا أحبّ إلى الله من فعل كثيرٍ من الطاعات فإنّ دوام الطاعات قد توجب لصاحبها العجب“Ini merasa berdosa lebih disukai Allah daripada melakukan banyak ketaatan, karena tetapnya ketaatan terkadang membuat ujub pelakunya.” Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathâ’if al-Ma’ârif fî mâ li-Mawâsim al-Âm min al-Wadhâ’if, Beirut Dar Ibnu Katsir, 1999, h. 57Apalagi jika ujubnya sudah sampai membuatnya menilai orang lain dengan buruk. Sebab, penilaian buruk terhadap orang lain, baik disadari atau tidak, berasal dari anggapan bahwa dirinya sudah baik, sehingga itu dijadikan ukuran dalam menilai orang lain. Karenanya sebagian ulama mengatakan “Dzanbun aftaqiru bihi ilaihi ahabbu ilayya min thâ’atin adillu bihâ alaihi—dosa yang membuatku butuh akan ampunanNya lebih kusukai daripada ketaatan yang membuatku memamerkannya.” Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathâ’if al-Ma’ârif fî mâ li-Mawâsim al-Âm min al-Wadhâ’if, 1999, h. 57-58Prasangka baik harus kita dahulukan dalam menilai seseorang, sejahat apapun orang tersebut. Andai kita melihat ada hal-hal yang perlu diperbaiki dari orang tersebut, lakukanlah dengan ma’ruf. Apalagi jika orang yang kita nilai adalah orang yang kita kenal atau dikenal berilmu. Kita harus lebih berhati-hati. Maka, penting bagi kita untuk menjadikan nasihat Imam Bakr bin Abdullah al-Muzani w. 108 H sebagai pegangan sekaligus pengingat juga• Lima Jurus Imam al-Ghazali agar Terhindar dari Ujub• Ketika Pengarang Alfiyah Dihinggapi Rasa UjubImam Bakr al-Muzani menghendaki manusia untuk melihat dirinya sendiri sebelum menilai orang lain. Bisa jadi yang menilai tidak lebih baik dari yang dinilai. Ia memahami betul bahwa tidak mungkin manusia mengenal sepenuhnya orang yang hendak dinilainya. Mereka tidak selalu bersama-sama selama 24 jam, hanya melihat sebagiannya saja. Karena itu, sangat penting menilai diri sendiri sebelum menilai orang lain. Lagi pula menilai diri sendiri adalah perbuatan lain yang ditimbulkan dari kegemaran menilai orang lain adalah lupa untuk menilai diri sendiri, padahal itu sangat penting. Kenapa penting? Karena untuk mengembalikan kesadaran kita sebagai manusia yang penuh dosa. Dengan menilai diri sendiri muhasabah kita bisa meraba-raba semua dosa kita, lalu memohon ampun kepada Allah. Kebanyakan manusia membaca istighfar tanpa merasakan dosanya, atau tanpa menyadari bahwa ia sedang memohon ampunan. Ia hanya tahu bahwa istighfar adalah penghapus dosa, tapi lupa akan ingatan dosa-dosanya. Hal ini terjadi, salah satunya, karena kelalaian manusia dalam membaca dirinya, apalagi jika sudah disibukkan dengan membaca yang mengikuti nasihat Imam Bakr al-Muzani, kita bisa memperoleh dua hal sekaligus; intropeksi diri muhasabah dan berbaik sangka husnudhan. Keduanya merupakan jalan pembuka pendewasaan spiritual, dan di waktu yang sama menghadiai kita dengan pahala. Intinya, jangan anggap pahala sebagai tabungan, karena bisa membuat kita merasa lebih kaya dari yang lainnya. Anggaplah pahala sebagai bahan bakar yang membuat kita selalu berusaha berada di penutup, ada satu nasihat luar biasa dari seorang tabi’in, murid Sayyidina Anas bin Malik 10-93 H, Imam Abû Qilâbah w. 104 H yang mengatakanإذا بلغك عن أخيك شيء تكرهه فالتمس له العذر جهدك, فإن لم تجد له عذرا فقل في نفسك لعل لأخي عذرا لا أعلمه“Jika sampai kepadamu informasi tentang perbuatan saudaramu yang kau benci, carikan alasan berbaik sangka untuknya semampumu. Jika kau tidak menemukannya, maka katakan pada dirimu sendiri “Mungkin saudaraku mempunyai alasan yang tidak aku ketahui.” al-Hafidz Abu Nu’aim al-Asfahani, Hilyah al-Auliyâ’ wa Thabaqât al-Asyfiyâ’, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988, juz 3, hlm 285Maka, berhati-hatilah menilai sesamamu, siapa tahu ia memiliki amal yang lebih banyak darimu. Allâhumma sallimnâ min fitnati hâdzihiz zaman. a’lam...Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen dan Pondok Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan.
Hukumilahatau nilailah seseorang dari lahiriyahnya. Karena kita tak bisa menelusuri dalam hatinya. Kita bisa menuduh orang tidak ikhlas atau riya', karena seperti itu butuh penglihatan dalam hati. Menerawang hati seseorang sungguh amat sulit dilakukan.

PERASAAN merasa diri paling baik dan benar tak jarang hinggap di diri seseorang. Misalnya ketika kita merasa telah mempelajari dan menguasai sesuatu, kita cenderung merasa paling pintar dan menilai orang lain tidak berilmu. Pun demikian ketika kita mempelajari dan memperdalam agama. Ketika kita merasa telah belajar dan menguasai ilmu agama, kita cenderung merasa paling benar dibanding dengan yang lainnya. Dan lebih parahnya lagi memandang orang lain tidak atau kurang beriman. Merasa diri paling benar, paling suci, paling aman dari dosa, paling beriman atau bahkan paling berhak masuk surga sejatinya merupakan tipu daya setan yang membuat sesuatu yang sebenarnya salah menjadi tampak benar. BACA JUGA Ini 12 Bahaya Sifat Ujub Merasa Bangga Diri Allah SWT berfirman yang artinya “Dan Dia lebih mengetahui tentang keadaanmu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih dalam perut ibumu. Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” QS. An Najm 32. Rasulullah SAW bersabda “Janganlah menyatakan diri kalian suci. Sesungguhnya Allah yang lebih tahu manakah yang baik di antara kalian.” HR. Muslim. Merasa diri paling benar, paling suci, paling aman dari dosa, paling beriman atau bahkan paling berhak masuk surga adalah beberapa bentuk sikap sombong dalam Islam dan merupakan perbuatan yang sangat dicela oleh Allah SWT. Karena itu, umat muslim sangat dianjurkan untuk lebih mengenal dirinya sendiri introspeksi diri guna menghindarkan kita dari berbagai penyakit hati sombong, riya, ujub, takabur, dan lain sebagainya. Dalam surat An Nisa’ ayat 49 Allah berfirman yang artinya “Apakah kami tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih. Sebenarnya Allah mensucikan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.” QS. An Nisa 49. BACA JUGA Ujub, Sifat yang Membuat Pelakunya Hancur Keutamaan introspeksi diri dalam Islam di antaranya adalah menyadari segala kekurangan yang dimiliki tanpa harus rajin dan sibuk merendahkan orang lain apalagi dibumbui dengan kata-kata kasar. Karena bisa jadi orang lain yang direndahkan, dianggap salah, tidak suci, lebih berdosa, kurang beriman, dan dianggap tidak pantas masuk surga menurut “kriteria”-nya sejatinya jauh lebih baik dari dirinya. [] BERSAMBUNG SUMBER DALAM ISLAM

cPQ1t9m.
  • h27f1z17m3.pages.dev/418
  • h27f1z17m3.pages.dev/582
  • h27f1z17m3.pages.dev/683
  • h27f1z17m3.pages.dev/129
  • h27f1z17m3.pages.dev/79
  • h27f1z17m3.pages.dev/418
  • h27f1z17m3.pages.dev/920
  • h27f1z17m3.pages.dev/697
  • h27f1z17m3.pages.dev/701
  • h27f1z17m3.pages.dev/804
  • h27f1z17m3.pages.dev/317
  • h27f1z17m3.pages.dev/199
  • h27f1z17m3.pages.dev/669
  • h27f1z17m3.pages.dev/633
  • h27f1z17m3.pages.dev/663
  • menilai orang lain menurut islam